Senja yang Tak Jingga

Aku menari-nari dalam pikiranku sendiri

Menghitung kemilau bintang yang tertutup awan kelam

Lalu menanti angin malam yang tertiup lembut dan dengan tulus membelai tepian wajahku

Satu-satunya nyata yang bisa aku sapa

Sesaat aku terhentak, untuk apa aku menunggui malam

Sedang senja saja tak pernah menjingga

Ia sering berlalu begitu saja

Entah lupa, atau memang tak suka

Aku harus mengembalikan diri, menyediakan ruang di bawah temaram

Dan secangkir kopi hitam

Ia akan tulus, menunggu dengan sabar hingga lenyap segala hangat

Maka nikmati saja, meski senja tak pernah jingga

Yogyakarta, penghujung 2020

*Melemaskan jari jemari ternyata tak semudah menikmati aroma kopi